top of page
Search

CERPEN : Gadis Kecil yang Kupanggil itu adalah…

22.04 WIB, sebuah ruangan berukuran 3x4 meter itu hening tanpa suara. Seorang gadis meringkuk di atas ranjang. Meremas ujung bantal, dadanya sesak menahan isakan tangis agar tidak terdengar. Malam itu, hati dan pikirannya remuk berantakan. Sekalipun ia tau jika hubungan dengan kekasihnya mungkin saja tidak berakhir bersama, namun ia tidak pernah siap dengan rasa sakit hati yang timbul. Pada saat yang tidak terduga, tanpa angin maupun hujan, kekasihnya meninggalkannya.


“Bukankah ini doamu sendiri untuk memohon yang terbaik?” batinnya.

“Ya seperti ini jawaban yang Tuhan berikan.”

“Oke baik, nggak boleh sedih yaa , harus bangkit.”


Dua menit kemudian, “Huaaaa air mataku ini keluar lagi, gimana dong?”, “Ini sakit, sungguh sakit,” bisiknya. Ingatannya kembali pada kenangan bersama kekasihnya. Tiba-tiba pintu terbuka, Ibu masuk dan mendapati putrinya dalam keadaan kacau. Rara pasrah, sudah tidak mungkin menghalau Ibu, tidak ada yang bisa disembunyikan lagi dari ibunya. Ibu bergegas memeluk dan tangis Rara menjadi semakin pecah. “Oh Ibu, malam ini aku menyaksikan dua hal. Pertama, perempuan yang sedang patah sejadi-jadinya, dan perempuan yang menguatkan putrinya di tengah hatinya yang ikut sesak tiba-tiba,” batin Rara.


Hari-hari berikutnya Rara masih banyak diam, sesekali air mata mengalir di pipinya saat ingatan itu kembali terlintas. Berbagai hal lalu lalang di benaknya. Begitu banyak hal tidak terduga terjadi semenjak beberapa bulan lalu. Gelar baru yang menjadikannya pengangguran selama dua bulan ini, kematian nenek yang begitu dekat dengannya, dan kehilangannya atas seseorang. Begitu cepat terjadi hingga ia belum bisa mencerna satu persatu.


Rara mundur pada ingatan tiga tahun lalu, kala itu ia berusia sembilan belas tahun saat ia mulai mempertanyakan dirinya sendiri. Sebenarnya siapakah dirinya? Dan akan jadi apa?. Pertanyaan itu muncul ketika ia tiba-tiba merasa hampa. Rara menjadi tidak tahu dengan apa yang ia rasakan semuanya menjadi hambar tak berasa, hingga membuat Rara seringkali berekspresi datar.

“Kamu flat banget sih jadi orang,” tanya seseorang.


Rara melihat lawan bicaranya, kemudian tersenyum nyengir, “hehe”. Pandangannya jauh mengawang, mencoba mengingat-ingat apakah benar hidupnya se-flat itu. Beberapa tahun belakangan Rara menjadi lebih tertutup, dirinya terlihat kehilangan keinginan atas apapun, hidupnya sebatas rutinitas dan tanggung jawab saja. Kekecewaan-kekecewaan yang ia pendam sejak kecil menjadi salah satu penyebab Rara seperti ini.


“Kamu pernah takut akan sesuatu?” tanya seseorang itu lagi.

Rara menggeleng.

“Sikapmu seperti ini menunjukkan kamu banyak ketakutan.” “Dan akhirnya kamu memilih untuk tidak ambil sikap”.

Rara terpaku, “Sial ini benar,” batinnya.

“Dek, apa kamu takut untuk kecewa?” tanya orang itu lagi. “Dia benar-benar tahu yang aku pikirkan,” batin Rara.

“Sudah berulangkali aku kecewa. Aku baik-baik saja kok, tidak ada yang perlu tahu perasaanku, bukan hal yang penting,” jawab Rara.

“Ini menunjukkan kamu sedang tidak baik-baik saja Rara.” “Dengarkan ya, dengan tidak mengambil sikap, berarti kamu takut menentukan pilihan. Karena apa? Karena kamu takut kecewa, kamu takut menyakiti dirimu sendiri, kamu takut mengecewakan dirimu sendiri dan orang lain.” “Sehingga membuat kamu tidak berani memiliki keinginan, kamu tidak berani mengutarakan, kamu akhirnya membatasi dirimu sendiri”. Mata Rara mendadak merah, percakapan kali ini berhasil mendobrak hatinya. Sebenarnya sudah lama Rara memikirkan ini. Namun ia belum bisa mengerti bahwa ini adalah bentuk ketakutannya.


Percakapan yang terjadi dua tahun silam itu masih begitu nyata bagi Rara. Apalagi sosok yang membantunya untuk bangkit saat ini justru meninggalkannya. Percakapan itu membawa lamunan Rara pada cerita Ibu tentang Rara kecil. Rara kecil yang ceria, banyak bicaranya dan yang selalu antusias dengan hal baru. Rara tak pernah kehabisan pertanyaan ketika berbicara dengan orang lain, berbanding terbalik dengan saat ini. Rara terus membuka ingatan masa kecilnya, namun ia tidak mendapatkan ingatan yang jelas, seluruhnya memburam. Sudah lama ia sadari banyak ingatannya di masa lalu hilang semenjak ia tidak mampu merasakan emosinya sendiri.


“Mau kamu apa sih Ra?, kamu ini sebenernya siapa Ra?, kenapa kamu sampai kayak gini” tanyanya di antara langit-langit kamar. “Kamu kuat Ra, kamu pasti bisa melewatinya” sisi Rara yang lain ikut menimpali. “Iya, tapi aku siapa?”. Hening kembali mengelilingi sekitarnya. Rara kembali memutar otak bagaimana mencari tau siapa dirinya. Mengapa hal-hal yang ia lakukan seolah tidak menjawab siapa dirinya. “Apa benar kehidupan yang sedang kujalani adalah kehidupan orang lain? Kehidupanku hanya mengikuti apa kata orang?” pikir Rara.


“Aku harus lahir kembali,” bisik Rara dengan langsung memperbaiki duduk dengan bersila. Perlahan ia mencoba untuk tidak memaksakan dirinya terlalu berintrospeksi. Ia berhenti dari pertanyaan ‘mengapa’ yang tidak pernah ia temukan jawabannya. Ia pun mulai melepaskan standar yang ia buat selama ini. Rara mencoba me-restart ulang kehidupannya.


Rara mulai mencari cerita-cerita tentang Rara kecil, apa saja yang dilalui, emosi apa yang Rara rasakan. Rara pun melakukan hal-hal yang dulu ia sering lakukan, juga melakukan hal-hal kecil yang sejak dulu ia ingin lakukan. “Bu, kayaknya asik kalo kita tanam sayur-sayuran di pekarangan. Seperti dulu waktu Rara TK Bu”. Ajak Rara. “Ra, nanas yang Ayah bawa kemarin, yuk kita bikin kue nastar yaa”, giliran Ibu menawarkan. Lalu ia rasakan perlahan, hasrat berkeinginannya muncul kembali. Dan tanpa diduga, sebagian memori tentang masa lalunya kembali menguat. Rara takjub sendiri merasakannya.


Begitu pula dengan hal-hal yang menyakitkan. Ia menyadari, seandainya ia tidak pernah kecewa, mungkin ia menjadi orang yang tidak mengerti bagaimana mengikhlaskan. Jika ia tidak pernah patah, mungkin ia tidak memahami arti menerima. Jika ia tidak memiliki harapan, mungkin ia tidak tau bagaimana rasanya berjuang. Jika kehidupannya tidak bergulir, mungkin ia hanya memiliki sedikit sudut pandang. Di dunia ini, yang seirama adalah pertemuan dan timpang adalah perpisahan, kamu tidak akan tahu akan berjumpa dan berpisah kapan dan dengan siapa. Ia tertegun haru, dirinya menjadi lebih hidup saat mampu merasakan bahagia, lega, dan sedih yang membaur menjadi satu.


Rara bergumam, “Ra, tahap pertama telah kamu lewati, kamu mulai mengenali dirimu sendiri, bekal menentukan arah langkah yang harus kamu tempuh. Mungkin kamu memang tidak pernah tau akan sampai dimana, namun kamu tau jalan mana yang kamu ambil. “Kamu tau Ra?” ucapnya, “kamu telah memanggil dirimu kembali. Ya, gadis kecil yang kamu panggil itu, adalah dirimu sendiri.”

13 views0 comments

Recent Posts

See All

Akuntansi Nol (dari nol menuju nol)

Maharani Wuryantoro maharaniwu17@gmail.com ABSTRAK Akuntansi nol yang dimaknai dari nol menuju nol, artikel ini dimaksud untuk memperjelas makna tazkiyah dalam aktivitas akuntansi berkaitan pada subst

MAAF, AKU BELUM....

Buk, Aku belum tau bagaimana cara melakukannya Pak, Aku belum tau bagaimana rasanya kamu berjuang Dek, Aku belum pernah melewati fase ini, ini berat Kak, Aku belum pernah berada di sudut pandangmu Nak

Post: Blog2_Post
bottom of page